14 Oktober 2011

Banten Girang-Gerbang Kerajaan Banten

Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat (folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.

Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M). Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.

Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang", prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires (1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.

Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas, yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.

Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.

Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.


Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.

Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.

Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.

Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.

Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.

Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.

Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.

Masyarakat dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang di pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:

(1). Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di Banten Girang (Kota Serang sekarang).

(2). Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan - alternatif setelah Malaka.
Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.

(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun Islam).

(4). Fase Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung atau tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.

(5). Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris (1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen), pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.

(6). Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai sekarang memasuki masa pembangunan.

Di balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para ulama/mubaligh/kiyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.



Sumber Data :
1. Ayatrohaedi, 1980, Masyarakat Sunda Sebelum Islam
2. Djajadiningrat,P.A. Hoesein, 1983, Tinjauan Kritis tentang Sedjarah Banten
3. Halwany Michrob, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi Sebagai Sumer Data Bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten 1982, Sejarah Masuknya Islam Ke Banten
4. Halwany Michrob & Mujahid, 1993, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara
5. Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam Jilid III
6. Hasan M. Ambary, 1981, Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar