Kerajaan
Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara etnis
tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika kerajaan
Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina, kerajaan
Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.
Akibat
dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara
tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer : Vietnam di
utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan Champa
menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku hanya di
wilayah yang kecil.
Pertengahan
abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti Kamboja,
Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi bahaya
Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga
melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang
propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan. Champa
juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman II,
yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh Indrawarman
II.
Di
bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di
propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina.
Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan
dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci,
yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison.
Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.
Indrawarman
II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa. Raja-rajanya lebih
aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di
negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat suci baru, tetapi
juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari para perampok dan
memperbaikinya kembali jika rusak.
Selama
pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan dengan
Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya
berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan
sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada
kesenian Champa.
Selama
abad X terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907 dinasti
T’ang jatuh di Cina dan orang Annam mengambil kesempatan itu untuk maju
dan mendirikan kerajaan Dai-co-viet (Annam dan Tong-King) tahun 939.
Awalnya perubahan ini hanya berpengaruh sedikit pada Champa akan tetapi
kemudian timbul keributan antara Champa dengan kerajaan-kerajaan baru
itu. Kemudian Champa dikuasai dan mulai mencari pengakuan dari Cina.
Tahun 988 terjadi pembalasan oleh Champa dibawah raja Vijaya
(Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia mendapat jaminan
pengakuan dari Cina dan memperbaiki ibukota Indrapura.
Abad
XI merupakan masa kehancuran Champa. Champa kehilangan propisinya
karena direbut oleh Annam. Mereka mengirim misi ke Cina berturut-turut
dan tahun 1030 bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor. Tahun 1044
Annam melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa dan Champa
mengalami kehancuran. Ibukota Vijaya direbut dan Raja Jayasimhawarman II
dinaikan pangkatnya.
Dinasti
VIII, didirikan oleh seorang pemimpin perang yang bergelar
Parameswaraman I dan mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menekan
pemberontakan di propinsi bagian selatan dan berusaha mengembangkan
hubungan baik dengan kedua Annam dan Cina dengan sering-sering mengirim
misi.
Seorang
pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Beliau mengambil gelar
Hariwarman IV dan segera memperlihatkan kekuasaannya dengan memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan membangkitkan
kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah
berhasil mengusir Annam dari Champa, selanjutnya menghancurkan serangan
Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang memasuki
Kamboja.
Politik
Hariwarman IV memelihara hubungan yang lebih baik dengan Annam. Sejak
itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Cina dan
merencanakan penyerangan terhadap Annam. Ketika gagal, ia
bertanggungjawab melindungi dari kemarahan orang Annam dengan
mengirimkan tawaran perdamaian yaitu dengan memberi upeti kepada Annam
secara teratur.
Khmer
juga mulai menyerang Champa, bagian utara Champa telah berada dibawah
kekuasaan Khmer. Tetapi di bagian selatan Panduranga, seorang raja baru,
Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah mendesak keluar
pasukan Khmer, ia terus menyerang dan mengembalikan Wijaya dan
menyatukan kembali kerajaan.
Kesulitan
Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai
memberontak. Tetapi ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan
karena perang dengan menggunakan sebagian barang jarahannya untuk
memperbaiki candi-candi dan membangun yang baru. Beliau juga mengirim
utusan ke Cina dan menenangkan Annam dengan membayar upeti secara
teratur.
Ketika
Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang avontutir yang
cerdik bernama Jaya Indrawarman IV yang telah merebut tahta dari putera
Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang besar ialah membalas dendam dengan
menyerang Kamboja yang telah menyerang Champa oleh Suryawarman. Akan
tetapi penyerangan tersebut gagal. Setelah melakukan persiapan lama,
Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan Kamboja. Suryawarman
memutuskan untuk bersekutu dengan Kamboja.
Kemudian
Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer selama 17
tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam catatan, pasukan
Khmer meninggalkan negeri itu dan memberikan kendali pemerintahannya
secara sukarela. Banyak yang berpendapat mengenai sebab pengunduran
Khmer secara tiba-tiba tersebut. Kesimpulan Maspero oleh Coedes, adalah
bahwa tekanan T’ai atas kerajaan besar Khmer telah sedemikian keras
hingga Angkor dipaksa meninggalkan cita-citanya menjadikan Champa
sebagai daerah taklukannya.
Kemengan-kemenangan
Mongol di Cina juga dianggap sebagai penyebab berhentinya perang antara
Annam dan Champa. Dalam hal Champa, masalahnya sampai pada puncaknya
ketika tahun 1281, yaitu saat kesabaran Kublai Khan telah habis dan
beliau mengirim marsekal “Sogatu” untuk mendesak pemerintahan Mongol di
negeri itu.
Seorang
raja baru, Jaya Simhawarman III didesak untuk bersekutu dengan Annam.
Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang telah
menyerahkan dengan senang hati tahtanya kepada puteranya Tran Anh Ton,
dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di
negeri-negeri tetangganya. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang
putrinya untuk dijadikan istri raja Cham.
Dalam
pertalian perkawinan itu, ia terbujuk untuk menyerahkan dua buah
propinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan
seorang saudara perempuan Tra Anh-Ton. Kemudian ketika pemerintahannya
digantikan oleh putranya Che-Chi, putranya harus menanggung perbuatan
bodohnya itu. Tahun 1312, Annam menyerbu Champa, menurunkan Jaya
Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang.
Champa
sekarang menjadi propinsi Annam yang rajanya diangkat sebagai “pangeran
pembayar pajak kelas dua”. Tetapi Che Nang tetap setia kepada Champa
dan tidak mau menyerahkan pada kekuasaan Annam. Ia memberontak dan
berusaha mengembalikan dua propinsi yang telah diserahkan oleh ayahnya.
Che
Anan ialah pendiri dinasti XII dalam sejarah Cham yang berkuasa sampai
tahun 1390. Ini merupakan pembuka bagi kebangkitan Cham dengan mengambil
manfaat atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan mulai serangkaian
serangan-serangan yang sukses di Annam. Negeri itu tetap dalam keadaan
teror terus menerus sampai tahun 1390, raja Cham terbunuh dalam perang
di laut. Kemudian Champa kehilangan propinsi Indrapura (Quang Nam).
Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir.
Di
tahun 1471, tentara Vietnam Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa.
Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa dan
keluarganya dan sekitar 60.000 orang lainnya diculik untuk dijadikan
budak. Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal
dengan nama Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari
tentara Vietnam yang mengancam kerajaan Champa. Seluruh bangsa Cham
beremigrasi ke arah barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang
sekarang merupakan Kamboja.
Dengan
kejatuhan Vijaya pada 1471 maka keluasan Negara Champa semakin mengecil
dan ibu negara Champa berpindah untuk kesekian kalinya. Kali ini jauh
ke selatan ke Panduranga. Mengikut sejarah, semenjak perlantikan Po Tri
Tri sebagai raja untuk keseluruh Champa dan dengan perpindahan beliau ke
Panduranga untuk menubuhkan kerajaan yang baru, maka bermulalah
perkembangan Islam secara besar-besaran di Champa. Bahasa Sanskrit yang
selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak digunakan lagi.
Semenjak
era inilah Champa bertukar corak. Tidak pasti sama ada Champa terus
menerus diperintah oleh raja Islam sehingga kejatuhannya ke Vietnam,
akan tetapi berdasarkan kepada keunikan sistem pentadbiran yang
diamalkan di Champa di mana terdapat berbagai kerajaan dalam satu
wilayah pada masa yang sama, maka berkemungkinan bahwa ada raja-raja
Islam yang memerintah Champa pada zaman tiga abad setelah kejatuhan
Vijaya.
Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai ‘Urang Champa’.
Selain kaum Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai kaum
etnik daripada rumpun lain yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia
yaitu puak bukit (hill tribes) yang terdiri daripada kaum-kaum Chru, Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho), dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun bahasa Austroasiatic seperti kaum Dera atau montanagards yang terdiri dari kaum-kaum Ma, Sré dan Stieng.
Meskipun
terdapat raja, yang memerintah Champa secara keseluruhannya, terdapat
juga raja-raja kecil misalnya Raja Bao Dai, yang menjadi raja untuk kaum
etnik yang tertentu. Ini mempunyai persamaan dengan kaum Batak dan
Mandiling di Indonesia, misalnya, yang mempunyai raja-raja mereka
sendiri, tetapi semata-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji sejarah
Champa mungkin pengkaji sejarah tidak memahami kedudukan raja pada kaum
masing-masing dan hal ini telah menimbulkan kekeliruan di sebabkan dalam
satu zaman yang sama akan terdapat rujukan kepada dua atau tiga raja
yang berlainan nama. Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang
mempunyai kekuatan tentara dan kekuasaan politik negara sebagai ‘Raja
kepada Raja-raja (‘Rajatiraja’) Champa’ (“King of Kings of
Champa”). Berdasarkan kepada manuskrip-manuskrip yang terdapat
berkemungkinan besar setelah kejatuhan Vijaya, kekuasaan ini pernah
dipegang oleh raja yang beragama Islam.
Kerajaan
Champa merupakan kerajaan maritim sehingga pandai dalam pelayaran.
Pelabuhan utama Champa ialah Phan Rang dan Nha Trang. Pelabuhan tersebut
merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini. Karena Quang Nam
menawarkan pelabuhan yang lebih baik daripada pelabuhan yang lain,
dimana kapal pedagang dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina bisa
mendapatkan persediaan air bersih di pelabuhan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar