Pengantar
Tentang hubungan antara Freemasonry dan Muhammadiyah, dalam bukunya yang berjudul Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (1998), Dr.
Alwi Shihab, mencatat: “Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa Freemasonry
Indonesia digerakkan oleh orang-orang Kristen yang sadar diri dan sangat
peduli kepada penyebaran Injil. Sejalan dengan melajunya waktu, lembaga
tersebut semakin kuat serta mampu menarik lebih banyak lagi orang untuk
berpindah agama. Lembaga ini telah berhasil menggaet berbagai kalangan
Indonesia terkemuka, dan dengan demikian mempengaruhi berbagai pemikiran
berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan bahwa perkembangan
Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum Muslim mulai
merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam upayanya menjaga
dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad) Dahlan
bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi
yang sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan
mendirikan Muhammadiyah. Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa
dipisahkan dari keberadaan dan perkembangan pesat Freemasonry.” (hal.
154-155).
PENDAHULUAN
Pemahaman yang menganggap bahwa semua
agama itu sama telah ada di Indonesia sejak lama. Setiap agama
diposisikan memiliki kebenaran yang sama, semua menjanjikan kebaikan,
membawa keselamatan, mengajarkan kehidupan penuh kasih sayang, dan
sebagainya. Pemahaman ini pada giliran selanjutnya menafikan kebenaran
absolute dari sebuah agama demi mencapai kehidupan bersama yang toleran.
Ketika sebuah agama dianggap memiliki nilai kebenaran yang sama dengan
agama lain maka hakikat kebenaran itu sendiri pada gilirannya menjadi absurd dan debatable.
Di antara pandangan yang berasas demikian pada era ini antara lain
diwakili dengan berkembangnya pluralisme agama. Sedangkan pada masa
lampau, paham yang serupa telah disebarluaskan oleh kelompok theosofi.
Theosofi merupakan gerakan
trans-nasional
yang diijinkan beroperasi di Nusantara dalam masa penjajahan Pemerintah
Hindia Belanda. Theosofi ini memiliki kaitan erat dengan organisasi
yang dimotori kaum Yahudi yang bernama
Freemasonry. Di Hindia Belanda kelompok theosofi ini awalnya bernama
Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Theosofi Hindia Belanda) yang merupakan cabang dari perkumpulan theosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India.
[1]
Di Hindia Belanda kelompok ini didirikan oleh Ir. A. E. Van Blomestein
pada 31 Mei 1909. Baru pada 12 November 1912, organisasi ini mendapat
pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda sebagai
rechtspersoon (badan hukum) dan anggaran dasarnya dimuat dalam
Staatblaad No. 543.
[2]
Paham theosofi ini menganggap bahwa
semua agama memiliki titik persamaan kebenaran. Dalam menjelaskan paham
kesamaan agama ini theosofi sendiri berusaha mengukuhkan posisinya.
Theosofi mengklaim bahwa ia berada di atas semua kebenaran agama
tersebut. Di satu sisi ajaran theosofi berusaha mengembangkan paham
kesamaan dari semua agama dan menjalankan persaudaraan dengan
mengabaikan perbedaan agama tersebut. Paham pluralisme agama tercermin
secara langsung melalui aplikasi pengelompokkan dan adopsi ” Kebenaran”
dari semua agama dunia. Namun demikian, umumnya, ajaran Islam terabaikan
pada ”sudut mati” dan sekaligus diposisikan sebagai lawan. Pada wilayah
ini theosofi menganggap bahwa ajarannya merupakan ”sari pati” dari
agama dan oleh karenanya memiliki posisi lebih tinggi dari agama.
Sebagaimana pluralisme agama, theosofi
mengambil ”inti sari” ajaran dari berbagai agama sebagai legitimasi dan
justifikasi ajaran sendiri. Upaya ini bukan dilakukan untuk mendukung
pengembangan keagamaan yang ada, namun theosofi mengambil langkah ini
untuk membuka jalan bagi pencapaian agendanya sendiri terkait kehidupan
keagamaan. Tidak jarang interaksi yang dilakukan oleh theosofi bersifat
mengaburkan ajaran suatu agama dan perbedaannya dengan agama lain. Prof.
Dr. (Buya) Hamka, seorang ulama muslim Indonesia, menganggap bahwa
jargon ”penyatuan agama” termasuk dalam ajaran theosofi hanya merupakan
upaya
trial and error belaka. Karena tidak dibawa oleh nabi dan
terbentuk oleh dialektika filosofis spekulatif, maka tidak memiliki
ajaran yang kokoh mengakar kuat.
[3]
Dr. B.M. Schuurman, akademisi Kristen, menyatakan bahwa theosofi
sebagai produk olahan dengan dan melalui ”nalar luhur” manusia, tidak
akan mampu menemukan kebenaran sejati. Kebenaran menurut theosofi tunduk
sebagai hasil pergulatan ”nalar luhur”, sedangkan kebenaran sejati
harusnya bersumber dari kehendak Allah, bukan dari nalar sebagai
ciptaan. Oleh karenanya theosofi tetap tidak mampu memberikan penjelasan
terhadap ”rahasia kehidupan” secara tuntas sebagaimana konsep yang
dimiliki oleh agama.
[4]
Dalam hal ini Schuurman mencoba berdialektika dengan menganggap bahwa
ajaran Kristen lebih bermutu tinggi daripada ajaran theosofi.
THEOSOFI DI JAWA
Di Jawa theosofi berusaha merekrut
anggotanya dari kalangan terpelajar, bangsawan keraton, orang-orang
berpengaruh, dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia. Aliran
kebatinan Yahudi ini, nyatanya bukan hanya menjangkau kalangan elit
masyarakat namun secara langsung maupun tidak langsung turut mewarnai
pula rakyat kalangan bawah.
Sejumlah buku berbahasa Jawa telah
diterbitkan guna mempublikasikan ajaran theosofi. Adapun buku-buku
tersebut umumnya menggunakan carakan Jawa (aksara Jawa). Diantara buku-buku yang memuat doktrin theosofi berbahasa Jawa tersebut antara lain adalah Serat Weddasatmaka (4 jilid), Kitab Makrifat (2 Jilid), dan Babad Theosofie.
Serat Weddasatmaka dan Kitab Makrifat banyak berbicara tentang masalah
”ketuhanan” dan pencapaian ”keutamaan” sejati. Sedangkan Babad Theosofie
mengisahkan tentang awal mula berdirinya Perhimpunan Theosofie di
Amerika Serikat sampai menjadi ajaran yang menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Penerbitan ajaran Theosofi ke dalam Bahasa Jawa ini sudah tentu
merupakan salah satu upaya agar ajaran ini mampu terinternalisasi oleh
warganya. Sekaligus sebagai upaya untuk memperlihatkan kepada umat Islam
di Jawa bahwa Theosofi tidak berbeda jauh dengan ”tasawuf”. Yang
terakhir ini jelas merupakan sebuah upaya theosofi untuk mendekati dan
menarik simpati pemeluk agama Islam.
Selain terbitan – terbitan dengan
menggunakan aksara Jawa tersebut, juga terdapat publikasi lain yang
umumnya menggunakan Bahasa Melayu, Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.
Kitab Makrifat di atas juga termasuk yang diterbitkan dalam Bahasa
Melayu, selain menggunakan Bahasa Jawa. Juga termasuk Majalah ”
Pewarta Theosofie”, Majalah ”
Theosofie di Hindia Belanda”, dan lain sebagainya. Media dalam bahasa asing juga beredar di Hindia Belanda misalnya
Theosofische Maandblad,
De Pioner,
The Theosophist,
Theosophia,
The Adyar Bulletin,
The Herald of Star, dan
Zeithchrift fur Parapsychologie.
[5]
Hal ini menunjukkan bahwa theosophy mencoba menarik perhatian dari
sejumlah kalangan, baik warga bumi-putera maupun bangsa asing.
Di antara buku-buku dan produk terbitan
tersebut, telah diungkapkan tentang keberadaan Babad Theosofie. Babad
yang ditulis pada tahun 1815 ini merupakan sebuah buku yang diterbitkan
dalam rangka memperingati 40 tahun berdirinya Perhimpunan Theosofi.
[6]
Buku yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa tersebut menceritakan
tentang perjalanan organisasi Perhimpunan Theosofi yang didirikan pada
17 November 1875 di Amerika Serikat. Juga memberikan sanjungan kedua
tokoh yang aktif mengembangkan ajaran Theosofi melalui perkumpulan
tersebut yaitu Kolonel Henry Steel Olcott dan Helena Petrovna Blavatsky
[7] (biasa disingkat HPB). Kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907) adalah mantan tentara Amerika yang kemudian bekerja sebagai
lawyer.
Ia adalah presiden pertama Theosofi yang menjabat selama 32 tahun. Ia
merupakan salah satu anggota freemasonry, sebuah gerakan rahasia
pendukung zionisme, yang kerap melakukan kampanye bagi persaudaraan
universal (
universal brotherhood). Sedangkan Helena Petrovna
Blavatsky (1831-1891) adalah wanita berdarah Yahudi dan aristokrat Rusia
yang berkecimpung dalam dunia
occultisme sejak masih remaja. Petualangan Blavatsky untuk mengungkap
spiritisme, kabarnya telah membawa dirinya untuk mempelajari doktrin
Kabbalah dari seorang rabi Yahudi.
[8]
Pengalaman-pengalaman ini kemudian tercermin jelas dalam karya-karya
yang dihasilkan oleh Blavatsky, termasuk pendiriannya dalam perumusan
tentang theosofi. Di antara pujian yang ditulis pengarang babad untuk
kedua tokoh theosofi di atas adalah sebagai
para minulya ingkang darajadipun wonten sanginggiling manungsa[9] (golongan orang mulia yang derajadnya berada di atas manusia).
Meskipun banyak memanfaatkan dalil dan
ritual agama, namun pada akhirnya agama dianggap tidak penting untuk
menjadi titik pertemuan dalam persaudaraan manusia. Ajaran theosofi
sendiri berusaha untuk meminggirkan agama sedemikian rupa. Babad
Theosofie menggambarkan proses ini secara kentara dalam proses
pendidikan anak sejak dini sesuai dengan salah satu cita-cita theosofi
yaitu
ambudi pamredining lare, boten mawi gepokan agami, … [10]
(mengusahakan pendidikan anak-anak dengan mengabaikan persentuhan
dengan agama). Agama dalam pandangan ini ditempatkan bukan sebagai
kebenaran absolut sehingga dalam mempelajari agama masing-masing,
anggota theosofi diharapkan tidak menganggap ajaran agamanya paling
benar. Melainkan terdapat juga kebenaran dalam agama lain yang bisa
dihayati. Babad Theosofi mengungkapkan proses ini dilakukan dengan
menganjurkan agar warganya bukan sekedar melakukan kajian pendalaman
terhadap agama yang dianut oleh masing-masing anggotanya melainkan juga
melakukan proses perbandingan dengan agama lain. Hal tersebut
diungkapkan sebagai berikut:
Angajengaken pambudining kawruh agami sarana agaminipun piyambak-piyambak, tuwin nenandhing agami[11]
Artinya:
Memajukan pembelajaran agama melalui agama masing-masing dengan melakukan proses perbandingan agama.
MENAWARKAN AJARAN TERSENDIRI
Theosofi sendiri juga menawarkan
”keyakinan baru” kepada anggotanya yang bersifat majemuk dalam hal
keagamaan tersebut. Dengan demikian theosofi tidak sepenuhnya mencoba
menguatkan dan memperkaya pemahaman masing-masing anggota dengan ajaran
agamanya masing-masing, melainkan juga menawarkan sebuah sistem ”agama”
yang baru. Tidak jarang pada akhirnya lahir praktik ”keagamaan” yang
bersifat sinkretis sebagai konsekuensi logis sikap theosofi terhadap
entitas agama. Di Jawa nampaknya sempat terjadi ”sedikit” masalah dalam
awal-awal pengenalan ajaran yang diadopsi oleh theosofi dari sejumlah
kebudayaan Timur, terutama dari India. Penganut Agama Islam yang
bergabung dalam Perhimpunan Theosofi kurang bisa menerima ajaran tentang
karma dan reinkarnasi yang dipublikasikan melalui
ceramah-ceramah dalam pertemuan rutin penganut theosofi. Babad Theosofie
mengungkapkan tanggapannya terhadap hal tersebut sebagai berikut:
…. ungel
kula ingkang maratelakaken manawi theosofi boten purun mengku dhateng
tiyang, pikajeng kula ingkang kula tembungaken makaten wau, warga boten
kapeksa kedah pitados dhateng ingkang kawulangaken ing pakempalan,
tiyang lumebet dados warga boten prelu kedah pitados dhateng piwulang
ingkang sapunika sampun kalimrah namapi[12]
wulang theosofi, ingkang kedah nyanggemi dhateng pasadherekanipun
sadaya manungsa. Sarta niyat tumut ambudi sagedipun kalampahan, ewadene
piwulang sarta pamanggih kados punapa kemawon nyumanggakaken anggen
jengandika nganggep, ingkang meh sampun boten kenging dipun pisah
kaliyan theosofi. Nanging samangke kula pitaken upami boten wonten
piwulang, punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab
karma tuwin tumimbal lair, kados boten saged, ewadene miturut
pangandikanipun Kolonel Olcott ngatos dumugi warsa 1879 Kolonel Olcott
kaliyan HPB, dereng nate mireng prakawis punika. Sanadyan sampun mireng
nanging boten anginten bilih punika badhe dados satunggaling bab ingkang
yektos nama raos theosofi.
[13]
Artinya :
Ucapan saya yang
menyatakan bahwa theosofi tidak bersedia mengekang manusia, maksud saya
adalah warga tidak dipaksa harus percaya kepada apa yang diajarkan
dalam perkumpulan, orang yang masuk menjadi warga tidak harus percaya
dengan pelajaran yang sudah lumrah diterima dari ajaran theosofi, yang
harus bertanggungjawab kepada persaudaraan semua manusia. Serta niat
ikut berupaya terlaksananya , namun demikian pelajaran serta pendapat
seperti apa pun dipersilakan, yang sudah tidak dapat dipisahkan dari
theosofi. Tetapi sekarang saya bertanya jika tidak ada pelajaran, apakah
manusia bisa merasakan theosofi tanpa melibatkan bab karma dan
kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa, meskipun demikian menurut
pernyataan Kolonel Olcott sampai tahun 1879 Kolonel Olcott dan Helena
Petrovna Blavatsky belum pernah mendengar permasalahan tersebut.
Walaupun sudah mendengar namun belum mengira bahwa hal itu akan menjadi
salah satu bab yang sesungguhnya menjadi rasa theosofi.
Sang pengarang Babad Theosofi
seolah-olah menyerahkan bahwa masalah kepercayaan terhadap ajaran
theosofi menjadi pilihan ”bebas” bagi anggota untuk menentukan. Namun
ungkapan Nanging samangke kula pitaken upami boten wonten piwulang,
punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab karma tuwin
tumimbal lair, kados boten saged (tetapi sekarang saya bertanya
jika tidak ada pelajaran, apakah manusia bisa merasakan theosofi tanpa
melibatkan bab karma dan kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa) di
atas merupakan penegasan diplomatis bahwa seseorang tidak dapat
merasakan theosofi tanpa mempercayai semua aspek dalam sistem ajarannya,
termasuk keyakinan tentang karma dan reinkarnasi.
Kepercayaan yang diadopsi dari Agama India, yaitu Hindhu dan Budha berupa ajaran tentang
karma dan
reinkarnasi memang menjadi salah satu ajaran khas yang dimiliki oleh theosofi.
[14]
Oleh karenanya, kepercayaan terhadap kedua hal ini tidak dapat
ditinggalkan oleh penganut ajaran theosofi. Warga theosofi yang menganut
agama Islam, tidak ada pilihan lain kecuali terikat pula kepada doktrin
tersebut. Padahal ajaran tentang keberadaan karma dan reinkarnasi,
jelas tidak mendapatkan justifikasi maupun legitimasi dari sumber-sumber
hukum Islam. Menjadi anggota theosofi sekaligus seorang muslim kaffah
adalah pilihan yang mustahil. Sebab pada tataran ini, menampakkan dua
sistem ajaran yang berbeda secara diametral. H. P. Blavatsky, penggagas
mula-mula theosofi, sendiri sejak awal telah melakukan kajian yang cukup
mendalam terhadap eksistensi karma dan reinkarnasi sebagai ”jiwa”
theosofi.
[15]
Ajaran tentang karma dan reinkarnasi
hanya sebagian kecil dari pengajaran theosofi yang bertentangan dengan
nilai keislaman. Di luar itu masih terdapat ajaran lain yang tidak dapat
disejajarkan dengan praktik ritual keislaman, misalnya ajaran theosofi
menyangkut kehidupan setelah mati. Juga ritual pemanggilan makhluk halus
yang sering dipraktikkan di loge-loge theosofi. Babad Theosofie
mengambarkan bahwa pada awal-awal pendirian theosofie di Amerika Serikat
ritual pemanggilan setan ini sudah mulai diperkenalkan. G. H. Felt,
seorang pakar tentang mistik dan proporsi bangunan Mesir kuno, telah
mencoba memperkenalkan ritual tersebut kepada anggota theosofi.
[16]
Meskipun upaya pemanggilan makhluk halus ini gagal dilaksanakan dan
sempat membuat theosofi ditinggalkan anggotanya, namun pada masa-masa
selanjutnya menjadi ritual penting. Keberadaan upacara memanggil arwah
atau setan ini tidak jauh berbeda dengan ritual yang dilakukan oleh
pengikut freemasonry. Keberadaan ritual pemanggilan makhluk halus
(setan) menyebabkan
loge (dijawa disebut loji) milik theosofi,
terutama di Jawa, sering dicap dengan atribut sebagai ”gedung setan”
atau ”rumah setan”. Oleh karena itu theosofi yang dewasa ini berkembang
di Indonesia tidak lagi menyebut tempat ritualnya sebagai loji,
melainkan dinamakan ”sanggar”.
[17]
Praktik-praktik ritual theosofi ini sudah tentu tidak dapat dijalankan
oleh seorang muslim yang memiliki komitmen keislaman yang kuat. Seorang
pengabdi Allah, pada saat bersamaan tidak seharusnya menjalankan ke
musyrikan
dengan menjadi pemuja setan. Mengadopsi kedua entitas tersebut secara
bersamaan jelas akan melahirkan perilaku dan praktik keagamaan yang
paradoksal.
Pada sisi yang lain, theosofi seringkali menampakkan diri sebagai ajaran tasawuf di Jawa.
[18]
Hal ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan oleh gerakan
theosofi untuk merangkul pengikut dan menarik simpati, terutama dari
kalangan elit Jawa yang umumnya beragama Islam. Pendekatan dengan
mengidentikkan ajarannya sebagai tasawuf ini dapat dilihat secara
gamblang dalam kitab-kitab resmi ajaran theosofi berbahasa Jawa seperti
Serat Weddasatmaka dan
Serat Makrifat.
Kedua kitab ini berusaha mengetengahkan konsepsi theosofi dengan
meminjam sejumlah terminologi dan sistem yang berasal dari ajaran
tasawuf. Hasilnya, jelas bukan tasawuf yang mendasarkan pandangannya
kepada sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Sunnah, melainkan
bersifat kontradiktif dan tidak jarang antinomis terhadap ajaran Islam
itu sendiri. Serat Weddasatmaka sebagai contoh, mengakui bahwa
eksistensi tujuh langit sebagaimana dalam konsepsi Islam (Qs. Albaqarah
:29). Hanya saja serat ini kemudian mendefinisikan sendiri ketujuh
langit tersebut dengan menggunakan keyakinan yang lain. Definisi langit
ketujuh, misalnya, dalam buku tersebut dianggap bukan langit dalam makna
yang sesungguhnya (
harfiah). Langit ketujuh secara alegoris dimaknai sebagai alam yang ada dalam diri manusia dan wujud halusnya (
roh).
[19]
Dengan memahami keberadaan sejumlah
ajaran seperti di atas, maka dapat diketahui bahwa munculnya paham
pluralisme yang menganggap semua agama sama dalam theosofi, bukan dalam
rangka memperbaiki dan memperkaya nilai-nilai agama apalagi mempertinggi
kualitasnya. Demikian juga anjuran untuk memperbandingkan semua bentuk
ajaran agama. Tidak lain hal itu lebih sebagai upaya pendekatan yang
dilakukan oleh theosofi untuk bersentuhan dengan pemeluk agama dan
memenangkan ”keunggulan” ajarannya sendiri. Theosofi bukan saja
mengambil semua ”Kebenaran” dari agama, melainkan bermaksud mengokohkan
posisinya berada di atas agama dan merusak sistem ajaran yang ada di
dalam agama yang bersangkutan.
S. Joedosoetardjo, seorang penganut
theosofi dari Semarang, dalam majalah ”Brahmawidya”, salah satu terbitan
berkala theosofi, mengungkapkan bahwa theosofi sendiri bukanlah agama.
Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan. Diantaranya, theosofi tidak
memiliki ”syahadat” yang mengikat manusia untuk percaya kepada sistem
ajaran dalam theosofi. Theosofi juga tidak memiliki Nabi, ajarannya
tidak di
wiridkan saja namun diamalkan guna mencapai kemajuan.
Theosofi juga mengajarkan bahwa manusia tidak hanya hidup sekali saja
melainkan berkali-kali sehingga manusia tersebut dapat mencapai
kesempurnaan Tuhan dan sejumlah argumentasi lainnya.
[20]
Tulisan Joedosoetardjo tersebut nampaknya berusaha untuk mendefinisikan
bahwa theosofi adalah ”kehidupan kebatinan” yang berbeda dari agama,
utamanya Islam.
Buku “
Babad Theosofie” mengakui
bahwa kaum theosofi telah melakukan sejumlah upaya untuk mempengaruhi
spiritualisme di dunia timur dimana salah satunya adalah dengan
memasukkan unsur-unsur ajaran theosofi dalam kitab-kitab primbon.
[21]
Maka tidak mengherankan bila terdapat kitab-kitab primbon kebatinan di
Jawa yang mengedepankan ajaran mistik dan klenik, ternyata kental pula
dengan pandangan theosofi. Contoh primbon yang dimaksud masih dapat
dijumpai misalnya dalam buku “
Pustaka Radja Mantrayoga” yang dikarang oleh “Sang Harumdjati”,
[22]
yang dimungkinkan sebagai nama samaran. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika terdapat kitab-kitab primbon yang memiliki “jiwa
Islam” namun tidak murni lagi karena masuknya sinkretisme ajaran yang
dipopulerkan oleh kaum theosofi, yang seringkali mengambil apa yang
disebut sebagai “kebijaksanaan” dari semua agama. Hal ini merupakan cara
yang cukup halus dalam menghilangkan ajaran Islam dari kehidupan
“batin” masyarakat Jawa.
SINIS TERHADAP AGAMA
Theosofi sendiri memiliki pandangan
yang cukup sinis terhadap eksistensi ajaran agama. Ajaran theosofi
senantiasa menekankan urgensi persaudaraan antar manusia tanpa memandang
agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan yang bersifat manusiawi
lainnya. Agama dalam posisi ini dianggap sebagai salah satu pemantik
konflik, bukan hanya konflik antar agama bahkan umat seagama pun juga
mengalaminya. Perbedaan ajaran antar agama maupun perbedaan pendapat
antar umat seagama seringkali diposisikan sebagai sumber konflik utama. Babad Theosofie mengungkapkan bahwa salah satu tujuan theosofi adalah sebagai berikut:
Amabeni
sawarnining lampah ingkang nyamar, nadyan ingkang nunggil utawi boten
nunggil agami, saben sulaya kalayan pamanggihipun kadosta pitadosipun
dhateng kaelokan ingkang mrojol sangking wewaton, mangka sampun
katitipriksa ngantos salesih bilih tetela manawi kalentu.
[23]
Artinya :
(Menjaga
sejumlah tindakan yang mengkhawatirkan, walaupun satu agama maupun
berbeda agama, setiap ada konflik dengan pendapatnya seperti kepercayaan
terhadap keajaiban yang berada di luar akal, padahal sudah diperiksa
dengan teliti bahwa hal itu keliru).
Namun demikian nampaknya Perhimpunan Theosofi sendiri tidak mencoba mawas diri untuk
self-evaluation
dengan mengaca kepada sejarah perjalanan theosofi itu sendiri.
Konflik-konflik yang berkembang di tubuh penganut theosofi seringkali
berujung kepada perpecahan serius. Perebutan kedudukan sebagai presiden
theosofi antara dua tokoh penting paham ini, yaitu Dr. Annie W. Besant
(1847-1933) dari Inggris dan William Quan Judge (1851-1896) dari Amerika
telah menimbulkan adanya perseteruan antara keduanya dan merembet pada
pengikut masing-masing. Pasca Annie Besant menjadi presiden Theosofi,
loge-loge di Amerika tidak mau tunduk lagi kepada kepemimpinan Besant.
Gerakan ”perlawanan” ini dimotori oleh tokoh theosofi wanita bernama
Katherine Tingley, pengarang buku “
Theosophy : the Path of Mistic”.
Untuk memperkuat posisinya maka Annie Besant kemudian menghubungkan
theosofi dengan menggandeng gerakan freemasonry, dimana ia sebelumnya
telah menjadi anggota dari perkumpulan pendukung zionisme ini.
[24]
Ramalan-ramalan Annie Besant tentang datangnya ”Guru Besar” bagi
manusia yaitu ”Khrisnamurti”, juga menyebabkan penentangan dan
perpecahan tersendiri. Rudolf Steiner, pemikir theosofi dari Jerman,
merupakan tokoh yang berusaha menyangkal ”nubuatan” Besant tersebut.
[25] Penyangkalan-penyangkalan ini pada masa selanjutnya menyebabkan keorganisasian theosofi dan ajarannya tidak pernah menyatu.
Menanggapi konflik-konflik ini, pengarang Babad Theosofie
nampaknya kurang percaya diri untuk menjelaskan kronologis perseteruan
yang terjadi antar kubu tersebut. Namun demikian pengarang babad,
sebagaimana umumnya penganut theosofi di nusantara, kebanyakan merujuk
kepada kepemimpinan dan pemikiran Annie Besant. Sang pengarang babad
berdalih bahwa konflik yang menyebabkan theosofi banyak kehilangan
anggota tersebut merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan konflik yang
terjadi sangat bermanfaat sebagai mekanisme penyaring untuk memunculkan
anggota-anggota yang benar-benar berkualitas. Hal ini diungkapkan oleh
sang pengarang secara diplomatis dan apologis sebagai berikut:
Serat-serat pawartosipun
theosofi asring nyariyosaken, manawi pakempalan mentas katempuh prahara
ageng, pakempalan malah katingal ngrembaka, mila manawi pakempalan
kataman pakewet, ngatos wonten warga ingkang medal, punika ingkang
kandel manahipun, lajeng sami mungel : Para warga theosofi dipun irigi,
dados pundi ingkang alit manahipun inggih dhawah.
[26]
Artinya:
Tulisan-tulisan berita theosofi
sering menceritakan, jika perkumpulan baru saja mengalami prahara besar,
maka perkumpulan justru terlihat berkembang, maka jika perkumpulan
mendapatkan kesulitan, sampai ada warga yang keluar, biasanya anggota
yang teguh hatinya akan mengatakan: Para warga theosofi sedang disaring,
jadi siapa yang kecil hatinya akan jatuh ke bawah …
Peristiwa perebutan kekuasaan di
atas hanya merupakan sebagian kecil saja konflik yang terjadi dalam
tubuh theosofi. Kehadiran theosofi nyatanya juga melahirkan konflik baru
bagi agama-agama yang telah ada baik dalam internal agama maupun dengan
agama lainnya. Sejarawan M.C. Ricklefs menggambarkan bahwa
gerakan-gerakan intelektual yang bersifat anti Islam yang sempat
berkembang di Indonesia pasca tahun 1900 umumnya memiliki kaitan dengan
gerakan dan paham theosofi. Ricklefs menggambarkan bahwa paham theosofi
ini berusaha mengkombinasikan antara
budi dan
buda.
Budi merepresentasikan sifat intelektual dalam pemikiran ilmiah Barat.
Sedangkan Buda merupakan ajaran yang berkembang sebelum masuknya Islam.
[27]
Kemunculan kombinasi tersebut tidak lepas dari upaya menyingkirkan
eksistensi dan peran Islam dari kehidupan masyarakat ”intelektual” di
Hindia Belanda. Munculnya oknum-oknum anti-Islam dari tubuh theosofi ini
jelas memberikan ”pekerjaan rumah” baru bagi umat Islam di Indonesia.
Ajaran theosofi yang menganggap bahwa ia
berada di atas agama, bukannya tanpa problem. Theosofi yang berusaha
menghilangkan batas-batas antar agama, pada gilirannya tidak jarang
melahirkan pola hubungan antar agama yang justru kurang harmonis. Dalam
tahapan ini pandangan theosofi hanya menciptakan keruwetan baru bagi
hubungan antar agama yang sebelumnya tidak selalu diwarnai konflik.
Sekaligus membuktikan bahwa ajaran theosofi yang menekankan urgensi
persaudaraan antar manusia hanya merupakan jargon belaka. Sebab
sebagaimana kehadiran paham pluralisme agama, praktik theosofi justru
melahirkan keruwetan-keruwetan baru bagi eksistensi sebuah agama dan
pola hubungannya dengan agama lain. Alih-alih menciptakan kerukunan dan
persaudaraan antar sesama manusia, yang terjadi justru menjadi bahan
bakar dan sekaligus pemantik konflik.
PENUTUP
Sebagaimana pluralisme yang
menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran yang sama, theosofi juga
memiliki cara pandang serupa. Pluralisme saat ini telah berkembang
menjangkau negeri-negeri berpenduduk muslim termasuk Indonesia dengan
menawarkan pemahamannya. Demikian juga theosofi saat ini mulai
memperlihatkan tanda-tanda kebangkitannya kembali. Meskipun keduanya
memiliki tujuan untuk mempersatukan semua agama dalam suatu persaudaraan
universal, namun kedua paham tersebut tetap berpijak pada suatu agenda,
kepentingan, dan cara pandangnya sendiri. Agenda yang digulirkan bukan
dalam rangka memperbaiki kehidupan keagamaan, melainkan bersifat
destruktif terhadap sejumlah ajaran agama yang paling mendasar.
Agama dalam pandangan theosofi, juga
dalam pluralisme, hanyalah merupakan suatu alat justifikasi dan
legitimasi bagi kokohnya sebuah argumentasi dan kepentingan. Tujuan
theosofi yang berusaha menciptakan suatu pola hubungan dan persaudaraan
antar manusia tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, dan
perbedaan alamiah hanya berhenti saja sebagai jargon. Sebab
praktik-praktik theosofi yang berkembang justru paradoksal dengan
ungkapan tersebut. Theosofi pada satu sisi merupakan paham yang bersifat
merusak agama. Pada sisi yang lain juga menimbulkan keresahan akibat
sejumlah ajarannya yang kontroversial dan menyimpan potensi konflik bagi
praktik keagamaan yang ada.
Sejatinya Theosofi merupakan hasil
perpaduan secara sinkretis antara spiritualisme Timur dan Barat dengan
menggunakan kaca mata Barat. Hakikatnya, proses tersebut tidak murni
sebagai usaha mengangkat dan menghidupkan kembali ”budaya” atau
”spiritualitas” Timur, melainkan merupakan bagian dari mekanisme
pembaratan yang sedang berjalan. Demikian juga pluralisme seringkali
memanfaatkan dan menggunakan ”kearifan lokal” sebagai unsur pembangun
argumentasinya. Namun demikian tetap saja worldview Barat sukar
dipisahkan dari entitas ajaran tersebut. Sebab argumentasi yang
bersifat demikian hanya sekedar mencari ”akar” dan tidak pernah
benar-benar ”mengakar”. (***)
FOOTNOTE :
[1] Lihat Adian Husaini, MA.
Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Cetakan II. (Gema Insani Press, Jakarta, 2005). Hal. 32-33. Juga Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara.
Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan Kini. (Khalifa, Jakarta, 2006). Hal. 6-8
[2] Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara.
Fakta dan Data Yahud i… Hal. 7
[3] Lihat Prof. Dr. Hamka.
Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya. Cetakan IX. (Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981). Hal. 149
[4] Dr. B. M. Schuurman.
Pambijake Kekeraning Ngaurip : Jaiku Paugerane Pratjaja Kristen. Cetakan III. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1968). Hal. 90-92
[5] Lihat Majalah “Theosofie di Hindia Belanda”. Tahun ke–32 No. 4/ April 1939. (NITV, Batavia Centrum). Hal. 10
[6] Bakta.
Babad Theosofie: Reringkesanipun Babating Pakempalan Theosofie. (Swastika, Surakarta, 1815). Hal. 3
[7]
Nama aslinya adalah Helena Petrovna Hahn. Ia lahir di Ekaterinoslow,
Rusia bagian Selatan tahun 1831. Pada 7 Juli 1848, ia menikah dengan
Jendral Nikifor Blavatsky. Usia pernikahannya tidak lama, setelah 3
tahun mereka akhirnya bercerai. Namun demikian, ia tetap menggunakan
nama Blavatsky pasca perceraiannya, sehingga ia dikenal dengan nama
Helena Petrovna Blavatsky. Lihat Arthur Lillie.
Madam Blavatsky and Her ”Theosophy” : A Study. (Swan Sonnenschein & Co, London, 1895). Hal. 1. Juga Dr. D.C. Mulder, Dr. J. Verkuyl, dan Ir. P. Telder.
Geredja dan Aliran-aliran Modern. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1966). Hal. 35
[8] Artawijaya.
Gerakan Theosofi di Indonesia: Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingga Era Reformasi. (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2010). Hal. 21-30
[9] Lihat Bakta.
Babad Theosofie … Hal. 8
[10] Bakta.
Babad Theosofie … Hal. 44
[11] Bakta.
Babad Theosofie …. Hal. 47
[12] Mungkin aksara Jawa dari tulisan tersebut telah salah tulis. Mungkin maksudnya “nampi”
[13] Bakta.
Babad Theosofie … Hal. 49-50
[14] Lihat buku-buku tentang ajaran theosofi, misalnya William Q. Judge.
The Ocean of Theosophy. Edisi Kedua. (The Theosophical Publishing Society, London, 1893). Hal. 60-69, 89-98. Juga Irving S. Cooper.
Theosophy Simplified. (The Theosophical Book Concern, California, 1915). Hal. 46-55. Juga Dr. Rudolf Steiner.
Theosophy: An Introduction to the Supersensible Knowledge of the World and the Destination of Man.
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari Bahasa Jerman oleh E. D. S.
(Rand McNally & Company Publishing, Chicago-New York, 1910). Hal.
59-86. Juga L. W. Rogers.
Elementary Theosophy. (Theosophical Book Concern, Los Angeles, 1917). Hal. 103-166
[15] Lihat selengkapnya karya H.P. Blavatsky.
The
Key to Theosophy : Being a Clear Exposition, in the Form of Question
and Answer, of the Ethics, Science, and Philosophy for the Study of
Which the Theosophical Society has been Founded. (The Theosophical Publishing Company Limited, London – New York, tth). Hal 197-223
[16] Bakta.
Babad Theosofie…Hal. 13 -18
[17] Artawijaya.
Gerakan Theosofi …. Hal.12. Bandingkan Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara. Fakta dan Data …. Hal. 4 -5. Juga Herry Nurdi.
Jejak Freemason dan Zionisme di Indonesia. Cetakan III. (Cakrawala Publisihing, Jakarta, 2007). Hal. 17
[18] Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara.
Fakta dan Data … Hal. 63
[19] Lihat Noname.
Serat Weddasatmaka utawi Pepakeming Tiyang Agesang. Jilid III. (H. A. Benjamins, Semarang, 1905). Hal. 50
[20] Selengkapnya lihat artikel S. Joedosoetardjo.
Theosofie itu Bukan Agama. Dalam Majalah ”Brahmawidya-Widya Pramana” terbit 1 Desember 1954 Tahun V. Hal. 1142
[21] Lihat Bakta.
Babad Theosofie …. Hal. 11
[22] Lihat dan baca Sang Harumdjati.
Pustaka Radja Mantrayoga. Cetakan IV. (Sadu-Budi, Surakarta, tth)
[23] Bakta.
Babad Theosofie … Hal. 42
[24] Selengkapnya lihat Ir. P. Telder.
Theosofi. Dalam Dr. D. C. Mulder, Dr J. Verkuyl, dan Ir. P. Telder.
Geredja dan Aliran …. Hal. 37-40
[25] Ir. P. Telder.
Theosofi … Hal. 43
[26] Bakta.
Babad Theosofie … hal. 35
[27] M.C. Ricklefs.
A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Edisi III. (Palgrave, Hampshire, 2001). Hal. 168
Sumber <a href="http://susiyanto.wordpress.com/2010/07/05/dari-theosofi-menuju-pluralisme-agama/"> </a>